Labels

Sunday 16 March 2014

Hak Asasi Manusia di Negara Demokratis

JelekOke - Ditulis Oleh : Leo Agung Kurniawan - Ilmu Administrasi Negara - FISIP - Universitas Airlangga.

A. Hak Asasi Manusia
Hak merupakan “klaim yang dibuat oleh satu orang atau kelompok yang satu dengan yang lain atau terhadap masyarakat. Orang yang mempunyai hak bisa menuntut (dan bukan saja mengharapkan atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu” (Bertens, 2001: 178-179). Hak merupakan suatu bagian lain dari kewajiban. Kata ‘hak’ dalam zaman modern ini baru muncul pada abad 17 dan 18 pada saat teori tentang hukum alamiah (natural law) mulai berkembang. Dari sinilah, mulai berkembang tentang adanya hak asasi manusia.


Hak asasi manusia bukan merupakan hak yang biasa. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia semata-mata karena dia adalah manusia dimana manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya melainkan berdasarkan karena martabat dia terlahir sebagai manusia. Arti lain, walaupun manusia terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya ataupun kebudayaan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak tersebut secara utuh. Hak asasi manusia bisa disebut memiliki sifat yang universal. Menurut John Locke, Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau, hak asasi manusia merupakan hak individu yang tidak dapat lepas dari negara demokratis. Dari segi pelaksanaan, hak asasi manusia harus menurut kehendak secara umum (general will) masyarakat suatu negara.
Dalam negara demokrasi, hak asasi manusia muncul sebagai persoalan yang sering terjadi dalam sosiologi politik. Banyak persoalan di dunia yang mempermasalahkan tentang hak asasi manusia ini. Namun, hak asasi manusia selalu berhubungan dengan kemanusiaan yang hakiki. Biasanya hak asasi manusiadikaitkan dengan kebebasan mendasar yang menyertai pelaksanaannya. Kedua hal ini, memungkinkan manusia untuk memenuhi segala keinginan, mengembangkan kemanusiaan, bakat dan pengetahuan-pengetahuan guna memuaskan kebutuhan manusia secara rohani dan jasmani. Adanya keinginan dan kebutuhan manusia untuk hidup, membutuhkan sebuah penghargaan atau perlindungan. Hal ini mengakibatkan adanya persaingan untuk bertahan hidup, sehingga hal ini berakibat pada munculnya masalah seperti pertentangan politik. Pertentangan politik ini diakibatkan keinginan suatu masyarakat tidak terwujud ataupun kebijakan suatu negara tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat. Hal ini pula bisa menimbulkan bibit kekerasan dan konflik di dalam suatu masyarakat, bangsa dan diantara bangsa-bangsa.

B. Pemikiran dan Rumusan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pada setiap tahun di bulan Desember hampir disetiap negara di dunia merayakan atau memperingati hari Hak Asasi Manusia yang dilakukan secara besar-besaran atau dalam kelompok secara terbatas. Bulan Desember dijadikan peringatan itu karena pada akhir bulan Desember tepatnya tangga 27 Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati konsep Hak-hak Asasi Manusia bagi seluruh bangsa dan negara anggota PBB.
Dalam periatan hari Hak Asasi Manusia se-dunia tersebut, terjadi dialog-dialog tentang berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan Hak Asasi Manusia tersebut di semua negara anggota PBB. Hal ini ppula yang terjadi pada bangsa Indonesia. Artinya, setiap bulan Desember dilakukan diskusi, dialog tentang Hak Asasi Manusia. Berbagai macam aspek tentang ataupun berkaitang dengan Hak Asasi Manusia menjadi sorotan penting. Dialog-dialog yang dimaksud dilakukan dengan muatan yang ada di media cetak seperti artikel ataupun dilaog-dialog secara langsung dan disisarkan di televisi nasional. Bisa juga dilakukan sebuah seminar oleh kelompok tertentu seperti halnya mahasiswa.
Diskusi dan dialog yang menyangkut mengenai Hak Asasi Manusia itu terjadi karena penafsiran atau pemikiran tentang hak-hak asasi manusia ini memang tidak jarang melahirkan perbedaan-perbedaan pendapat. Perbedaan-perbedaan ini menyangkut pemahaman konsep teoritisnya, maupun pelaksanaan dari hak-hak asasi manusia pada tiap negara. Setiap pemerintahan negara nampak memberikan penafsirannya sendiri sesuai dengan persepsi masing-masing, persepsi mereka pada umumnya dilandasi pemikiran bahwa latar-belakang politik dan sosial-budaya bangsa (yang bersangkutan) berbeda dengan bangsa yang lainnya.
Sehubungan dengan itu, terdapat dua persepsi tentang hak asasi manusia. Yang pertama, persepsi dari negara-negara Barat (Eropa Barat dan yang berpengaruh dan Amerika Serikat) yang selalu memandang, sebagai landasan utama pemikirannya, hak-hak asasi manusia sebagai hal yang bersifat universal. Artinya, setiap bangsa, tanpa memperlakukan warga negara mereka berdasarkan isi piagam PBB yang telah disepakati pada akhir bulan Desember 1948. Yang kedua, persepsi dari negara-negara sedang berkembang. Persepsi mereka dilandasi oleh pemikiran bahwa konsepsi dan pelaksanaan hak-hak asasi manusia tidak sepenuhnya universal. Artinya, mereka tidak menolak untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia, tetapi bagaimanapun di dalam pelaksanaannya, tidaklah dapat disangkal akan perlunya pertimbangan-pertimbangan politik dan sosial-budaya dari setiap bangsa dan negara yang bersangkutan.
 Perbedaan pendapat tentang hak asasi manusia juga terdapat dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya dikalangan lingkungan politikus dan ilmuwan. Perbedaan itu bahkan juga tidak kurang tajamnya dan berkembang memasuki masalah-masalah yang cukup rumit. Sehubungan dengan itu, misalnya mereka memperdebatkan isi Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku dan sedang berlaku di negara Indonesia.
Undang-Undang Dasar (UUD) yang pernah berlaku, yaitu UUD Negara Federal 1949 dan UUD Sementara 1950 dianggap sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Anggapan ini berdasar pada berbagai kenyataan bahwa kedua UUD itu memiliki lebih dari 30 pasal ketentuan yang menyangkut dengan hak-hak asasi manusia. Di lain pihak, UUD yang berlaku kembali sejak bulan Juli 1959, yaitu UUD 1945, yang berlaku dan menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara sampai sekarang, dianggap mempunyai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia yang kurang memadai. Anggapan mereka ini berdasar pada kenyataan bahwa UUD 1945 hanya mempunyai pasal-pasal yang amat dikit menyangkut hak-hak asasi manusia. Hak di bidang politik, perlindungan hukum dan beragama misalnya, tidak lebih dari tiga pasal, yaitu 27, 28 dan pasal 29. Adapun anggapan bahwa, hal ini dikarena UUD 1945 dibentuk untuk melindungi negara Indonesia dari kolonialisme pra kemerdekaan.
Ketika para pendiri negara ini berdialog, bahkan berdebat tetapi dalam suasana yang akrab sebagai seorang teman, kawan ataupun sahabat, tentang egara dan rumusan Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, persoalan hak asasi manusia telah tampil sangat jelas. Sebagai contoh, ketika proses mencantumkan kata-kata Ketuhanan, yang dilanjutkan dengan keterangan “dengan kewajiban syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Isi perdebatan yang menyangkut agama ini berdasarkan sumber dokumentasi otentik, telah menunjukan betapa dalamnya pemahaman pendiri negara terhadap kebebasan beragama baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dari toleransi yang besar di anatara para pendiri bangsa tersebut, akhirnya yang dicantumkan hanyalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan tujuh kata dibelakangnya dihilangkan. Itulah kemudia yang menjadi rumusan resmi di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Kebebasan itu akhirnya dituangkan secara terang-terangan dalam pasal 29 ayat 2.
            Di Indonesia saat ini secara formal kita telah mempunyai Konstitusi yang mengakui dan menjamin hak asasi manusia yaitu, persamaan hak, kedudukan, dan tanggungjawab bagi setiap peserta dalam proses politik. Namun secara material tak dapat dibantah masih adanya kelompok-kelompok dominan, baik itu domestik maupun internasional  yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai akses yang luas pada sumberdaya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum (the Autonomy of Law). Selain itu elemen-elemen budaya yang belum tercerahkan dan terbebaskan merupakan hambatan nyata bagi tegaknya Hak Asasi Manusia.
            Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998;
Tahun 1991 :
·         Pembantaian dipemakaman santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda. Pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya 200 orang meninggal.
Tahun 1992 :
·         Keluar Kepres tentang Monopoli perdagangan oleh perusahaan Tommy Soeharto.
·         Penangkapan Xanana Gusmao.

Tahun 1993 :
·           Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.
Tahun 1996 :
·           Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan kerusuhan Tasikmalaya. (26 Desember 1996)
·           Kasus tanah Balongan
·           Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Mucura Enim mengenai pencemaran lingkungan
·           Sengketa tanah Manis Mata
·           Kasus Waduk Nipoh di Madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat. Ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka
·           Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja di bakar. Kerusuhan Sambas Sangvaledo. (30 Desember 1996)
Tahun 1997 :
·           Kasus tanah Kemayoran
·           Kasus pembantaian mereka yang di duga pelaku dukun santet di Jawa Timur
Tahun 1998 :
·           Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus. Aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan di perkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13-15 Mei 1998
·           Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei
·           Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demontrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13-14 November 1998 dan dikenal dengan Tragedi Semanggi, dan lain-lain.

            Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak dapat semuanya ditulis disini.
            Sampai sekarangpun, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dan banyak pula yang belum terungkap bahkan diam di tempat. Misalnya saja kasus tewasnya aktifis Munir. Lantas apa yang salah dalam implementasi hak asasi manusia di negara demokratis Indonesia sekarang ini. Apakah kesadaran akan hak asasi manusia mulai tergerus oleh suatu keinginan dari individu atau manusia sejalan dengan arus perubahan global.
            Perlu pemikiran serius mengenai hak asasi manusia ini, solusi tepat agar mereka ataupun masyarakat paham akan hak-hak asasi manusia, perlu adanya upaya peningkatan moral pada diri tiap individu. Upaya ini meningkatkan toleransi antar umat manusia. Banyak masalah hak asasi antar umat manusia di Indonesia, kebebasan beragama menjadi sorotan penting, banyak agama di luar agama yang ditentukan oleh pemerintah yang ada di Indonesia dihancur leburkan, disingkirkan hingga dibantai. Mengapa harus berbuat demikian, mengapa tidak kita bimbing saja mereka untuk memilih salah satu agama yang di benarkan oleh pemerintah Indonesia.
            Ini menjadi hal yang tidak bisa diabaikan, satu-satunya cara tetap saja peningkatan moral tiap manusia. Jika moral bangsa ini bisa diperbaiki, maka masalah-masalah mengenai hak-hak asasi manusia bisa lepas bebas. Dalam pemikiran saya, korupsi sekarang merupakan pelanggaran HAM paling menjijikan, mereka tersandung kasus korupsi, namun mereka masih tersenyum lebar saat diperiksa maupun bertemu media massa. Moral yang buruk dari orang-orang yang patutnya dianggap sebagai contoh dan perubah negara ini menjadi baik.
            Jangan pernah melupakan Pancasila, itu solusi selanjutnya dalam mengatasi masalah-masalah HAM di Indonesia. Memandang satu sila saja yaitu sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, ini mampu menjadikan bangsa Indonesia satu, satu pada Tuhan. Manusia hanya ciptaan-Nya. Pancasila dasar negara, Pancasila ideologi negara dan Pancasila lah yang menjadi dasar keberadaan hak asasi manusia di negara demokratis kita, Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2001. Etika. Gramedia Pustaka: Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Sejarah Pemikiran Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta.
http://sekitarkita.com/2009/05/pelanggaran-hak-asasi-manusia-pada-masa-orde-baru/ (diakses Selasa, 17 Desember 2013, 18:00)
Thian Hien, Yap. 1998.  Negara, HAM dan Demokrasi. Lembaga Bantuan Hukum Indonesia: Jakarta.


0 komentar:

Terimakasih telah berkunjung.. Silahkan meninggalkan komentar :)